Rabu, 11 Oktober 2023

Seperti Rasa Keripik Kaca

Andai saja kau bisa merasakan, bahwasannya menaruh hati kepada seseorang yang hampir sah menjadi pemilik hati lelaki lain begitu menyiksa. Serba salah memang. Benih-benih yang telah tumbuh dalam pangkal pikiranku, merangsang otak untuk senantiasa berdialog bersamamu. 

Meski aku tahu, bagaimana ujung kisah ini. Meski aku tahu, akhir perjalanan kita. Aku hanya ingin berdoa, agar Tuhan memberi waktu lebih lama lagi untuk kebersamaan yang tak semestinya kuharapkan ini. Yaa ... aku ingin Tuhan tak buru-buru memisahkanmu dariku. 

Bagaimana jika memang Tuhan tak setuju dengan harapanku?

Aku sendiri pun tak dapat membayangkan, segila apa aku kelak ketika hanya bisa pasrah melihat punggungmu menjauh dari pandangan mataku. Akankah kau akan sekali saja menoleh kepadaku, lalu memberikan senyum terakhirmu? Atau hanya sekadar melambaikan tangan, tanda selamat tinggal untukku darimu?

Benar memang kata orang-orang, jika rasa semakin besar, semakin berat pula kelak kita menyeretnya pergi meninggalkan si pencipta rasa tadi. Yaa ... kaulah si pencipta rasa itu. Pencipta segala rasa yang belum pernah aku cicipi sebelumnya. Andaikan rasa itu bisa diceritakan, aku ingin memesan rasa seperti rasa keripik kaca kesukaanmu itu. Agar aku juga bisa menjadi candu untukmu. 

Kamis, 05 Oktober 2023

Dilema Kaliandra

Siang ini aku sedang duduk di serambi taman kantorku. Menunggu waktu istirahat usai, sembari menghabiskan es kopi yang telah tersisa separuh porsi. 

Sejenak mataku tertuju pada bunga kaliandra yang tumbuh di taman tak jauh dari tempatku bergeming. Sekawanan lebah sedang menyerbu kaliandra itu. Aku membayangkan, andai saja aku yang menjadi bunga cantik yang berbentuk seperti mangkuk dengan benang-benang merah putih yang tersusun rapi dari dalam mangkuknya itu. Entah harus senang atau sedih yang akan kurasakan. 

Rasa senang karena banyak yang tertarik padaku; ataukah akan sedih, bila tak bisa berbuat apa-apa tatkala para lebah itu bergantian mengambil sari-sari maduku.

Bagaimana jika itu dikaitkan dengan kehidupanku?

Aku hanya wanita biasa yang kerap memiliki ego seperti pada umumnya kaumku yang lain. Ada kalanya aku ingin tampil menarik dan menjadi pusat perhatian. Tapi dalam hati kecil, aku berniat untuk menyembunyikan pesonaku hanya untuk satu orang yang aku cintai kelak. 

Dari sanalah, rasa dilema itu terlahir. 

Baik dan buruk, aku perlu menimbangnya, agar kelak aku tak terjerumus pada pilihan yang salah. Haruskah aku menjadi kaliandra itu? Pantaskah aku? Ataukah lebih baik menjadi opuntia saja, meski tak kalah menawan namun terlindungi duri-duri kaktus yang menghidupinya. 

Sisa es kopiku telah tandas. Sebelum beranjak dari dudukku, sejenak kupandang jauh langit ibu kota siang ini. Di sana tergambar sosok lelaki yang kucinta. Timbul tanya di dalam benak. Mungkinkah kelak aku ditakdirkan bersamanya? 

Jika memang begitu, apakah dia lebih menyukaiku sebagai kaliandra, atau sebagai opuntia? Atau malah justru dia ingin aku menjadi hal lain selain itu ...? 

Pertanyaan-pertanyaan itu mengiringi langkah, yang kutuntun menuju ruang kerjaku.

Senin, 02 Oktober 2023

Bidadari Penakut

Hantu? Makhluk macam apa itu? Aku tidak mempercayainya.

Takut? Untuk apa aku menakutkan hal yang tak bisa kulihat. Justru aku lebih takut jika kehilangan sosok bidadari yang sedang serius bercerita tentang hal-hal mistis; padaku. 

Kamu? Yaa, Bidadari itu adalah kamu. Makhluk indah yang nyata hadir di hadapanku. 

Sedikit lucu memang, bagaimana bisa seorang bidadari takut dengan hantu, yang sekali pun tak pernah memperlihatkan wujud padamu?

Yang kupikir kan malah sebaliknya, mereka mengganggu karena merasa iri saja padamu. Kau bisa kulihat, sedang mereka tak dapat. Kau bisa kugenggam, sedang mereka berbeda alam. Kau mampu kuajak tertawa, sedang mereka hanya melihat dengan kecewa. Dan ... karena parasmu indah, sedang mereka tak napak dengan tanah. 

Berbanggalah, karena kau menang telak atas mereka. Untuk apa takut, jika kau yakin bahwa kau adalah juaranya. Mungkin mereka mengusikmu kali ini. Tapi tidak untuk waktu setelahnya. Sebab kau sekarang punya seorang penjaga (sepertiku), sedangkan mereka tak punya apapun terkecuali raga yang hampa. 

Kelak, jika mereka kembali mengganggu, tak usah kau lari. Sebut saja namaku tiga kali, mereka nanti yang akan pergi.

Jadi, mulai saat ini. Tak perlu lagi risau masalah ketakutanmu pada mereka. Risaulah pada kebersamaan kita, dengan masa depan yang masih dipertanyakan. 

Kau; sang bidadari sejati. Aku; sang pemimpi bidadari.

Minggu, 01 Oktober 2023

Selendang Bidadari

Purnama pertama di bulan oktober. Aku masih saja mengharap temu denganmu, di ruang tunggu kita; tempat biasa kita berjumpa.

Pagi ini bertepatan dengan hari senin. Aku sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya. Seperti halnya hari-hari sebelumnya. Niatku pagi ini hanya satu; ingin segera menjumpaimu.

Meski hanya berpapasan, atau sekadar bertukar senyum. Aku merasakan ada hal yang lain, seperti ada yang membuatku betah untuk berlama-lama melewati hari ini. Ada hal yang membuatku berharap, agar waktu sedikit saja memberiku ruang untuk membersamaimu hari ini. 

"Ahh, andai saja jam di tanganku yang sedang berhenti ini bisa turut serta menghentikan waktu semesta ..." pikirku waktu itu. 

Namun, aku sedikit cemas ketika bidadari yang aku tunggu, kini tak kunjung datang menampakkan diri. Apakah dia akan datang lebih siang dari biasanya? Apakah aku perlu mengirim pesan padanya untuk menjawab rasa penasaranku itu? Ahh, meskipun ingin, tapi aku merasa kurang percaya diri untuk menanyakan hal sepele seperti itu padamu. 

Dalam diam aku berangan, agar kau segera hadir di hadapanku. Secepat kilat menujuku, terbang dengan selendang bidadari warna biru favoritmu. 

Ahh, semisal saja aku punya selendang semacam itu (juga), mungkin aku saja yang datang menjemputmu, agar cemas tak lagi merongrong pikiran tentang ketidakhadiranmu. 

Atau aku curi saja selendang itu darimu. Agar kelak, kau tak bisa terbang ke mana-mana, tanpa aku; di sisimu.

Rabu, 19 Juli 2023

Rangkaian Tunggu

Menunggu itu menyenangkan, setidaknya itu bagiku; meski tidak bagimu. Bagaimana bisa menunggu itu membosankan, tatkala itu dapat menampakkan rasa haru bagi yang ditunggu. Bukankah itu merupakan sebuah kebahagiaan pula bagiku; bilamana melihat yang terkasih tersenyum melihat perjuanganku untuknya?

Yaa, bagiku menunggu adalah sebuah perjuangan yang menyenangkan. Jika kita memang yakin dengan apa yang kita tunggu, maka lakukan. Bisa jadi bagimu ini membuang waktu. Tapi bagiku, ini sebuah pembelajaran tentang sabar yang beradu kuat dengan gusar. 

Tidak ada yang sia-sia. Yang ada hanyalah kepuasan atas perjuangan yang telah kulakukan. Tak perlu bersedih bila itu semua meleset dari jalan cerita yang aku ingin. Semua telah digariskan. Semesta telah mengaturnya. Pun aku bukan penenung andal. Yang aku tau, aku hanya perlu berjuang; untukmu. 


Kamis, 24 Maret 2022

Selumbari

Menjelang tengah malam di malam kebahagianmu. Aku masih terjaga dari kantuk yang sempat mengetuk kesadaranku. Pikiran terus saja memaksa untuk melupakan segala sakit, meski keyakinanku berkata sulit.

"Tak masalah bila memang kau bahagia." Hatiku berkata seolah kau mendengarnya. Pun dengan senyum terpaksa aku berhalusinasi menghadirkan sosok dirimu di hadapan. Kulihat wajah sedihmu, persis seperti yang kulihat dua hari lalu.

Bagaimana pun, esok adalah takdir yang akan kita tempuh, meski dengan jalan yang kini berbeda jauh. Tak perlu memikirkan keadaanku. Justru yang aku khawatirkan adalah kamu yang tak mampu rela akan suratan yang telah digariskan dalam hidup kita. 

Aku malah berharap, semua perlakuanmu selama ini, hanyalah sandiwara semata. Dengan begitu, aku lebih mudah untuk melupakanmu. Entahlah ... Yang pasti, sesuai kesepakatan, esok hari adalah hari di mana kita saling menghapus nama di ponsel kita masing-masing. 

Selamat tinggal masa lalu. Kini, dini hari tersisa satu menit lagi. 






Jumat, 13 Agustus 2021

Terkesima

Wajah tanpa halang, tercermin pada sepasang retina. 

Entah musti berucap ataukah cukup mengagum dalam diam.

Raut muka bingung menatap selidik. 

Duhai puan, pandangan itu membuat diri menjadi salah tingkah. 

Andaikan nyali cukup untuk membuat bibir ini berujar. 

Namun sayang, aku hanya membalas senyum atas segala tanyamu. 

Inikah rasa yang dikata orang-orang itu; terkesima pada jumpa pertama. 


Sayangnya, pertemuan ini hanya sebatas perjalanan di kereta. 

Frekuensi tanya pun memudar, seiring kereta telah penuh berlabuh pada tujuan.